Semula terhadap Ratna, Rano memang hanya menganggapnya seorang gadis yang masih ingusan. Maka bila gadis itu bersifat manja, lebih jauh ingin banyak diperhatikan dan ingin dimanjakan, Rano hanya menganggapnya sepi-sepi saja.
Walaupun dalam hati terkadang Rano pikirannya menjadi goncang melihat kemanjaan gadis putri majikannya itu, namun dia tetap harus sadar tentang status pribadinya.
Terkadang memang Rano pernah melambungkan diri dari bumi kenyataan bila gadis putri majikannya itu tiap malam selalu menjumpainya dan memberikan teguran yang sangat ramah, dan tak lepas keramahannya itu selalu disertai ulasan senyum yang mempesona.
Rano pun tahu bahwa senyuman-senyuman yang di lontarkan padanya itu merupakan manifestasi sepontanitas rasa keinginannya untuk menjalin hubungannya lebih dekat dengan dirinya.
Tidak mustahil karena setiap kali ada masalah mata pelajaran bagi Ratna, Rano adalah teman yang dapat memecahkannya.
Setiap malam tanpa pernah absen, Ratna selalu mengajak Rano ke kamarnya. Jelas untuk diajak memecahkan berbagai macam mata pelajaran yang selalu dihadapi oleh Ratna.
Dan justru karena seringnya bergaul, dan bahkan mamanya Ratna pun sama sekali tidak mempunyai perasaan lain kecuali minatnya Ratna belajar dengan Rano, bahkan lampu hijau, dari awal perkenalannya serta keramah tamahan majikannya kemudian timbulah dihati Rano suatu perasaan ganjil.
Bahkan dari hari kehari dilalui terasa ada banyak kelainan yang terjadi pada diri Ratna. Dari beraninya menyentuh tubuh Rano, telah mulai berani lagi dengan tak diduganya Ratna telah mencium Rano.
Semenjak keberanian Ratna yang kian meningkat itu pulalah kemudian Rano tak pernah lagi menganggap Ratna sebagai gadis ingusan lagi. Melainkan bagai kuntum bunga indah yang sedang mekar yang begitu mengharapkan jatuhnya embun......
"Non Ratna, akhirnya terjawab jugalah perasaan hatiku yang selalu ingin menanyakan pada mu, kenapa dari hari kehari sikapmu semakin berani kepadaku. Pasti kamu menginginkan sesuatu dari ku, bukan?" berkata Rano dengan suaranya yang bergetar.
Ratna merasa terbongkar hatinya mendengar ucapan yang keluar dari mulut Rano yang jelas terungkap dari dasar hatinya.
"Laki-laki manapun kukira tak akan kuat imannya bila menghadapi gadis secantik kamu, Ratna. Tapi aku tetap berusaha menjaga pertentangan imanku."
Ada rasa cemburu yang menyembul di hati Maryunah ketika Rano dipanggil majikannya. Ada apa gerangan Nyonya memanggilnya? pikir Maryunah. Seorang pemuda macam Rano memang cukup memikat, sehingga tidak saja diriku, bahkan non Ratna, dan kali ini bahkan nyonya sendiri agaknya bersimpati padanya. Sebetulnya Rano memang bukan apa-apaku tapi mengapa seolah-olah aku cemburu padanya setiap kali ia bersama non Ratna!
Sebaiknya memang tidak boleh aku mempunyai perasaan seperti yang kurasakan ini, tapi apa boleh buat barangkali secara diam-diam aku memang sangat mengharapkan dia!
Rano telah dipanggil majikannya. Dan dengan tergopoh-gopoh ia bergegas datang dan menghadap.
"Nyonya memanggil saya?" suara Rano terdengar hati-hati sekali.
"Duduklah...!" kata Rita Damayanti mempersilahkan Rano agar duduk.
Dan Rano pun duduk berhadapan walau sebetulnya Rano merasa sangat kaku tingkahnya.
"Aku sudah tahu semuanya tentangmu, Rano. Ratna telah menceritakan padaku!" ujar Nyonya Rita.
Bergetar dada Rano mendengar suara yang demikian lembutnya dari majikannya. Rano merasakan bahwa suara yang keluar dari mulut majikannya penuh daya pesona.
Rano jadi tertegun.
"Ini memang kemauan dari Ratna, terus terang Ratna banyak mengakui kekurangannya pada setiap mata pelajarannya. Nah disini kebetulan fak yang kau ambil sewaktu di SMA mu dulu sama dengan yang diambil Ratna."
"Ratna mengambil fak apa, Nyonya?" tanya Rano untuk menghilangkan kekakuan tingkahnya.
"IPS...," jawab Rita.
"IPS?"
"Ya."
Rano memandang wajah majikannya.
Ada kekaguman pada tatapannya. Dalam hati Rano telah memuji bahwa meskipun nyonya kita umurnya lebih tua dari dirinya sepuluh tahun, namun kecantikannya tidak juga mau kalah dengan anak gadisnya, Ratna.
Dan manakala nyonya kita membalas tatapannya, Rano jadi tertunduk, tersipu.
Tapi justru dengan menunduk mata Rano jadi membentur tepat pada daster atas majikannya itu yang terbuka jauh dibawah lehernya. Belahan dadanya membayang jelas. Dan tiba-tiba terjadi dalam dada Rano berulang-ulang pukulan keras menghantap jantung Rano. Butir-butir keringat dingin membasahi tubuhnya.
"Aku akan membicarakan honormu selain dari hasil gaji bulananmu!"
"Sebetulnya itu tidak perlu, Nyonya." kata Rano sekenanya.
"Aku mengerti maksudmu, Rano. Kau merasa tak enak jika harus menerima pemberian yang tidak semestinya dari kami, tapi itu kuberikan atas dasar hakmu sendiri."
"Jadi." ucap Rano agak ragu.
"Kau harus menerima andaikata aku memberikan padamu honor tambahan selain gaji bulananmu sebagai pegawaiku!"
"Terima kasih, nyonya!"
"Rano," kata Nyonya Rita sambil mengulaskan senyum manis di bibirnya. "Kau mengerti apa sebenarnya waktu kau berada di yayasan penampungan pembantu itu kuambil?"
Rano terdiam. Ia hanya tahu bahwa kemungkinan saja nyonya Rita membutuhkan dirinya hanya hendak dimanfaatkan tenaganya. Bahwasanya tidak ada kemungkinan lain baginya jika ada pikiran untuk melangkah kearah lebih jauh dari itu.
"Aku begitu kasihan kepadamu! Dan tidak hanya rasa asihan saja aku mengambilmu dari tempat penampungan pembantu itu. Tapi ada sebab lain yang mengharuskan aku untuk mengambil dirimu itu!" kata nyonya Rita.
Dan sekilas Rano memandang mata majikannya bersinar-sinar, ada kobaran api birahi di sinar matanya. Mengerlip dan meliuk-liuk menyambar-nyambar kearah Rano.
Rano terkesiap. Ia merasa dadanya tiba-tiba saja berdebar ketika mengetahui nyonya Rita bangkit berdiri melangkah dan telah duduk disebelah Rano.
"Rano, aku adalah seseorang yang tengah dilanda kesepian, karena itulah sebetulnya aku membawamu kemari!"
"Ah.. nyonya bisa saja," jawab Rano tersipu.
"Ini terus terang dalam pengakuanku, Rano. Apakah aku sudah terlalu tua apabila menginginkan mu?"
Dada Rano berdebar mendengar pengakuan majikannya. Kalau seseorang perempuan mudah mengatakan demikian seperti pengakuan nyonya Rita itu, begitu pengalaman Rano sebagai seorang remaja lantas dapat mengartikan akan kearah mana ucapan majikannya itu. Pengalaman Rano telah menjelmakan menjadi konklus, yang berarti seorang perempuan itu akan bisa dan mudah untuk ditaklukannya.
"Nyonya, bagaimanapun juga aku tidak berani kurang ajar pada kebaikanmu!" Rano tetap saja berusaha menekan perasaannya walau sebetulnya ia mengerti majikannya bersimpati terhadap dirinya.
"Aku akan berterus terang kepadamu, Rano! Alasan lain aku mengambilmu dan akhirnya kau kuberi pekerjaan disini tiada lain adalah karena begitu kuatnya wajahmu saat kupandang telah menghadirkan ingatanku kepada seorang yang pernah mengisi kekosongan hatiku."
"Ooo... jadi wajah saya ini mirip dengan seseorang yang pernah dicintai Nyonya?" ucap Rano mulai berani setelah yakin bahwa majikannya itu benar-benar memberikan kesempatan padanya.
"Benar, Pemuda itu bernama Rudi Harnomo, kalau kulihat umurnya juga tidak jauh dengan umurmu! Dan dengan pemuda itu aku pernah merasakan kehidupan yang penuh dengan keindahan dan manis madunya cinta."
"Maaf, Nyonya." kata Rano yang agaknya kini telah tahu bahwa posisi dirinya tidak harus berlaku sebagaimana dirinya itu seorang pengurus kebun rumah pekarangan majikannya. "Sebenarnya apa yang terjadi pada kehidupan Nyonya sehingga Nyonya telah mencintai seorang pemuda dan mencintai hanya untuk mengisi kekosongan hati Nyonya?"
Mendapat pertanyaan dari Rano, nyonya Rita kemudian dengan keterbukaan hatinya telah bercerita. Bahwa hal itu terjadi karena seringnya suaminya pergi meninggalkan dirinya. Kesibukan suaminya yang memiliki banyak istri, ditunjang kesibukannya sebagai seorang pengusaha yang hanya memandang sepihak. Dan hanya mengambil keuntungan pribadinya saja, tanpa memikirkan kepentingan istrinya yang ditinggalkan berminggu-minggu bahkan sampai berbulan-bulan. Padahal seharusnya suaminya itu tahu bahwa sisi kehidupan seorang istri itu tidak hanya cukup dengan materi yang berlimpah ruah. Tapi pada sisi kehidupan seorang istri sebetulnya sangat membutuhkan kehidupan seks yang tak mungkin dapat dihindari.
Sehingga pada suatu hari nyonya Rita mengajukan tuntutan atas haknya sebagai istri. Dimana suaminya yang banyak istri itu telah mengijinkannya untuk berbuat apa saja dengan laki-laki lain asalkan dengan perjanjian tidak boleh terikat dalam tali perkawinan yang syah. Dan suaminya pun memberi kebijaksanaannya, bahwa sebagai seorang suami tidak harus menang sendiri.
Akhirnya mata maupun hati Rano harus terbuka lebar, bahwa salah satu dari sisi kehidupan itu sudah mulai ia jalani. Nyonya Rita pun telah membukakan mata dan hatinya. Dimana akhirnya telah hadir dosa-dosa dalam wujud keserakahannya untuk dapat menjerat seorang pemuda yang dikehendakinya.
"Kamu ganteng sekali, Rano!" ujar nyonya Rita.
Seketika wajah Rano pun memerah.
Seketika pula majikannya itu tersenyum lembut. Tangannya menyambar lengan Rano dan sekali renggut pemuda itu telah jatuh diatas pahanya yang terbuka. Kemudian menyusul sebuah ciuman hangat dari nyonya Rita mendarat di bibir Rano.
"Rano terus terang kesempatan seperti ini sangat kuharapkan, tapi agaknya anakku Ratna telah memberi jalan."
"Nyonya, apakah aku ini sudah pantas jika melakukan perbuatan yang seharusnya bukan pada tempatny ini?"
"Rano aku tahu kau masih sangat mentah. Dan justru kementahanmu itu yang sangat kuinginkan. Aku menginginkan sesuatu darimu, Rano."
Nyonya Rita merangkul pundak Rano dengan ketatnya, menciumi setiap wajah pemuda itu bertubi-tubi.
"Jangan khawatir Rano, selain gaji tetap bulananmu aku juga telah memikirkan honor sampinganmu secara pribadi karena memberikan pelajaran kepada Ratna, dan untuk hubungan kita demi kepuasanku, kau akan mendapatkan uang tambahan lagi dariku secara pribadi!"
Ah.. apakah aku harus melacurkan diri demi uang? gumam Rano dalam hati.
"Kenapa kau diam, Rano? Kau ragu? Kau merantau meninggalkan kampung pergi ke ibukota, bukankah uang yang kau cari?"
Rangkulan nyonya Rita semakin erat. Ciumannya pun semakin dalam, sampai-sampai keseimbangan tubuh mereka tak terkuasai. Rano jatuh di sofa. Terlentang. Tapi nyonya Rita belum juga melepaskan rangkulannya. Malah mempererat lagi.
Rano pun bangkit dan merasa sekujur badannya menjadi panas. Birahinya pun melonjak.
Dan tiba-tiba tangan Rano secara otomatis mulai merayap nakal. Tangannya mencari-cari sesuatu pada tubuh yang telah membangkitkan kelakiannya. Tangannya meraba dada nyonya Rita yang menggunung padat diantara celah blouse yang terbuka.
"Nyonya, sebenarnya apa yang dikehendaki dari saya?" tanya Rano.
"Kenapa kamu masih juga bodoh, Rano!" sahut nyonya Rita yang benar-benar sudah dibalut birahi yang memuncak.
Tapi akhirnya nyonya itu sadar, bahwa di ruang itu bukanlah tempat yang tepat bagi dirinya untuk melepas pelampiasan nafsu birahinya
"Ayo ikut kekamarku, Rano. Cepat sebelum Ratna pulang!" kata nyonya Rita seraya menarik lengan Rano.
Setelah mereka masuk kamar, perempuan itu kemudian menguncinya.
Dan agaknya Rano sudah tahu apa yang dikehendaki majikannya. Birahinya telah timbul dengan semangat mudanya telah melepas pakaianya. Begitupun dengan nyonya Rita yang sudah penuh dengan gejolak birahi dengan cepat membuka blouse dan kebayanya dengan sigap.
Demi syetan yang terkutuk, Rano betul-betul sudah tak ingat apa-apa lagi kecuali keinginannya untuk menikmati tubuh indah nyonya Rita yang mempesona.
Permainan itu berjalan dengan panas. Keduanya saling memacu untuk memperoleh kepuasan yang puncak, diiring dengan dengus nafas yang memburu dan keringat yang membasahi tubuh mereka berdua.
Dan akhirnya pertahanan Rano jebol. Tubuhnya mengejang-ngejang hebat diatas tubuh majikannya yang mengerang-erang....
Akhirnya, tubuh Rano pun terkulai lemas disisi tubuh nyonya Rita.
Selamat Jalan Fatamorgana Episode 3