Selamat Jalan Fatamorgana Episode 2

 

    Agak terkejut Ratna melihat adanya seorang pemuda yang tampan sedang membantu bibi Maryunah mencuci piring panci serta barang pecah belah lainnya. Cukup lama Ratna memperhatikan pemuda yang sedang ikut membanti bibi rumah tangganya. Seorang pemuda berkulit hitam manis. Matanya sayu. Dan ketika sempat tersenyum seakan-akan dapat meruntuhkan gunung Mahameru.
"Siapa, Mah?" tanya Ratna kepada mamanya.
"Rano," jawab mamanya.
"Rano?"
"Ya, Siang tadi mama telah meneria dia, biar untuk membantu rumah tangga kita. Kasihan Bibi Maryunah, kebun yang seluas itu tak mungkin dapat diatasi bibi sendirian."
"Benar, Ma. Sebetulnya bibi Maryunah telah bilang sama Ratna, kalau menyuruh mencarikan teman. Dia sering berkeluh kesah semenjak kita pindah di rumah baru yang dibelikan papa ini," kata Ratna.
"Nah... Justru itulah, siang tadi dengan jantannya Rano telah melamar kepada mama, minta pekerjaan apa saja yang penting dapat bekerja. Mengingat memang halaman pekarangan kita yang sangat luas begini dan belum juga ada yang mengurusnya, mama pikir tak ada salahnya dia kita terima bukan?"
"Benar, ma. Soalnya Ratna juga mengkhawatirkan kalau-kalau bibi keberatan karena banyaknya perkerjaan yang tak kepegang. Biarlah kita mempunyai pembantu lelaki juga ada baiknya."
    Ratna juga mengakui kalau Rano merupakan seorang pemuda yang tampan. Bahkan ketika sempat ia menerima senyum Rano seakan rontok dadanya. Jadi sudah tak lagi mengherankan kalau bibi Maryunah baru beberapa hari saja berkenalan dengan Rano hatinya telah merasa terpanah api cinta asmara. Walaupun hal yang sebenarnya itu hanya dipendamnya dalam hati, namun dari sikap yang ditunjukkannya Maryunah telah dapat ditangkap oleh Rano.
    Pernah pada suatu hari ketika majikan mereka sedang pergi mengunjungi suatu acara ulang tahun sahabatnya yang berada diluar kota, dan dua pembantu yang berlainan jenis itu sedang berjaga di rumah. Maryunah telah mencoba untuk mengadakan pendekatan kepada Rano.
"Apa alasanmu sehingga kamu meninggalkan kampung halamanmu dan berkeinginan sekali kerja di kota!" tanya Maryunah mengawali pembicaraan.
"Yah... mengadu nasib," jawab Rano.
"Mengadu nasib?"
"Yah begitulah kira-kira."
"Dulu sekolah kamu sampai dimana?" Maryunah mencoba lebih jauh ingin tahu pribadi Rano.
"Kalau kau sampai dimana?"
"Ditanya kok balas bertanya!"
"Memangnya gak boleh?"
"Aku hanya tamat SMP saja. Itupun sudah sangat beruntung sekali aku merasakan bangku SMP."
"Kok begitu?"
"Ya... daripada saudara-saudaraku. Mereka hanya sampai tamat SD saja sudah kandas. Maklumlah anak orang pedesaan. Apalagi seorang perempuan seperti aku ini, tak ada artinya sekolah tinggi-tinggi, paling toh masuknya juga ke UNDAP."
"Apa itu UNDAP?"
"Universitas Dapur!"
"Pinter juga kamu ngelawaknya Yun! Kalau aku terus terang lebih beruntung dari pada kamu, Yun!"
"Beruntungnya?"
"Aku sudah tamat SMA, walaupun akhirnya toh hanya pekerjaan semacam ini yang kuterima. Tapi kuanggap pekerjaan semacam ini hanyalah sebagai batu loncatan. Siapa tahu Jakarta benar-benar impian yang melahirkan angan serta cita-citaku."
"Ah... kau keliru Rano. Jakarta sebetulnya bukanlah kota impian!"
"Aku tahu."
Maryunah menjilat-jilat bibirnya. Matanya berkilat-kilat.
"Nanti dulu aku ambilkan minum," kata Maryunah.
"Ah... tak usah merepotkan. Biar aku mengambilnya sendiri," sahut Rano.
    Tapi tidak memakan waktu lama, Maryunah telah datang menjumpai Rano sambil membawakan secangkir kopi hangat.
"Minum deh..." Maryunah menawarkan dengan keikhlasan.
    Gembira sekali Maryunah melihat Rano telah meminum kopi yang diberikannya.
Hampir setengah cangkir ditenggaknya kopi itu. Tipa tiba Rano tersedak. Rano pula ikut memecahkannya."
    Sadarlah Rano dengan adanya pendekatan putri majikannya itu, bisa jadi karena Maryunah telah menceritakan perihal tentang pribadinya, kemudian beranggapan bahwa dirinya itu lebih pantas diajaknya berkompromi. Karena bagaimanapun juga bangku SMA baru saja dua tahun berakhir didudukinya. Dan hasilnya cukup gemilang. Namun apa kenyataannya, cita-cita hanyalah tinggal cita-cita, dan akhirnya ia terbengkalai tak dapat memasuki gerbang kampus dan jadilah ia seorang pembantu yang hanya memiliki wewenang untuk membuat baik dan buruknya pekarangan kebun yang luas milik istri muda seorang pengusaha.
    Sadar akan pendekatan putri majikannya itu. Rano tidak lantas berani gegabah atau dalam istilah katanya merasa GR lebih dahulu, melainkan ia tetap bercermin keadaan dirinya dan tetap mengingat siapa gadis dihadapannya itu. Ya.. Ratna tetaplah Ratna. Ratna tetap seorang gadis putri majikannya yang harus dihormatinya.
    Siapapun orangnya yang takkan tergiur bila berdekatan dengan gadis secantik Ratna, termasuk diriku ini, pikir Rano dalam hati. Tapi aku tidak boleh memiliki perasaan yang bukan-bukan kecuali menurut apa yang dikehendaki dan yang diperintahkannya.
"Terus terang aku perlu bantuanmu, Rano. Jangan khawatir, aku tetap dapat punya toleransi, dan jelasnya aku dapat bersikap jika dalam keadaan demikian ini tidak lagi kuanggap sebagai guruku. Jelas bukan dengan maksudku ini, dan kalau ada sesuatu yang kurang dapat mengena dihatimu dalam saat-saat seperti ini kau bisa saja membentak menegur semua sikapku jika kurang terpuji. Oke!"
    Walaupun pada suatu ketika putri majikannya itu akan berbicara, bahwa dirinya itu seorang pembantu dan Ratna seorang putri majikan, namun ada kesempatan baik juga buat Rano untuk menunjukkan bahwa dirinya bukanlah hanya merupakan orang dusun yang dungu. Ada baiknya ia harus menunjukkan bahwa sebenarnya ia adalah betul-betul seorang dusun yang berhasil sukses tiga tahun duduk di bangku SMA.
"Baik aku terima tawaran dari nona," kata Rano. "Dan kapan kiranya persetujuan yang kita sepakati ini kita jalani?" tanya Rano.
"Mulai besok malam, dan tentunya masalah ini akan kupertimbangkan juga dengan mama bukan? Sebab mengingat menyangkut adanya honor tambahan sebagai seorang pengajar privat!"
    Ratna berlalu meninggalkan kamar Rano.
    Rano dengan perasaan hati tak menentu mengawasi gerak lincah gadis ayu putri majikannya yang agaknya banyak menaruh hati padanya.
Malam semakin kelam. Larut.
Dan malam selarut itu, agaknya Rano belum juga dapat memincingkan matanya. Kegelisahan rupa-rupanya merajai pikiran dan hatinya.
                                                                          Next Episode
Selamat Jalan Fatamorgana Episode 2 4.5 5 Unknown     Agak terkejut Ratna melihat adanya seorang pemuda yang tampan sedang membantu bibi Maryunah mencuci piring panci serta barang pecah bela...